Kartini Bukan Cuma Penulis Surat, Dia Wartawati Pertama Nusantara
Selama ini mungkin kita hanya kenal tulisan-tulisan Kartini melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya. Surat-surat yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Namun kiprah Kartini sebagai penulis sebenarnya melampaui itu. Kartini juga menuliskan gagasannya di berbagai media seperti koran dan majalah, mencatatkan namanya hingga negeri seberang.
Kartini sedari kecil memang sudah akrab dengan berbagai buku bacaan. Apapun ia baca, mulai koran, majalah, serta buku dalam bahasa Belanda. Semenjak dipingit pada usia 12,5 tahun, otomatis tak banyak hal yang bisa ia lakukan. Satu-satunya penghiburannya adalah membaca.
Sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ternyata tidak menutup aksesnya untuk membaca, malah memberikan berbagai macam bacaan yang isinya masih cukup sulit untuk dicerna anak seusia Kartini. Begitu juga dengan kakak kesayangan Kartini , R.M Kartono, yang hanya terpaut dua tahun usianya juga turut memberi beragam bacaan.
Seperti dituliskan dalam buku " Kartini : Sebuah Biografi" karangan Sitisoemandari Soeroto Kartini menyukai buku-buku tentang budi luhur, pandangan hidup yang mulia, tentang jiwa yang jiwa besar. Namun semua buku bacaan ini memang tidak bisa langsung ia pahami.
Kartini akan mengulang bacaan itu berkali-kali hingga paham. Kata-kata yang tak diketahuinya akan dicatat dan ditanyakan kepada kakaknya, R.M Kartono saat pulang ke rumah. Saat itu Kartono sekolah di Hogere Burger School Semarang sehingga hanya pulang saat libur.
Tak hanya sekadar membaca, ternyata Kartini juga menganalisis isi bacaan kemudian ia tuangkan kembali dalam sebuah tulisan. Hal ini awalnya hanya diketahui sang kakak saja, baru belakangan adik-adiknya Roekmini dan Kardinah juga tahu soal kemampuan Kartini.
Tulisan pertama yang ia tulis dengan mendalam adalah soal upacara perkawinan di suku Koja (Het Huwelijk bij de Kodjas) pada tahun 1895. Saat itu ia baru berusia 16 tahun. Tulisan itu lantas ia perlihatkan kepada Marie Ovink –Soer, istri asisten residen Jepara. Ovink dengan segera meminta Kartini untuk belajar menulis lagi karena tahu ia memiliki bakat.
Tapi karangan itu justru terlupakan terselip di dalam lemarinya. Barulah ketika Kartini membersihkan lemarinya ia kembali menemukan karangan itu dan memperlihatkan kepada ayahnya.
Sang ayah kebetulan mendapat permintaan dari Koninklijk Instituut Voor Taal, Land en volkenkunde Voor Ned Indie untuk mengirimkan tulisan. Saat melihat tulisan Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menganggap tulisan Kartini cukup berbobot sehingga justru tulisan itulah yang dikirimkan.
Ternyata pada tahun 1898 tulisan kartini diterbitkan di Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde yang merupakan bacaan kalangan kaum intelektual. Namanya pun menjadi terkenal setelah penerbitan itu.
Tulisan lain juga dimuat dalam majalah De Echo yang ia tulis dengan nama samaran Tiga Soedara. Surat kabar terbesar saat itu de Locomotief sampai memberikan pujian kepada Kartini sebagai wartawati pertama.
Pada tahun yang sama Kartini bersama kedua adikknya, Roekmini dan Kardinah mengirimkan bantuan mereka untuk keperluan Nationale Tentoonstelling voor Vrouwenarbeid (Pameran Nasional Karya Wanita di Denhaag). Ada beberapa barang yang dikirim tapi yang paling menarik adalah alat-alat pembatikan yang digunakan untuk memeragakan proses membatik dari awal hingga akhir dilengkapi dengan panduan yang menjelaskan seluruh pekerjaan pembatikan.
Tulisan ini disusun dalam bahasa Belanda. Mengingat ditulis sendiri oleh seorang pribumi yang menguasi batik, tulisan itu mampu mengisi kekurangan naskah pejabat-pejabat Belanda.
Tulisan Kartini mengenai batik ini kemudian menjadi bagian penting dalam buku Standard de Batikkunst in Ned Indie en Haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya) yang ditulis oleh G.P Rouffaer dan Dr. H.H Juynboll dan dikenal sebagai Handscrift Jepara (Manuskrip Jepara).
Secara khusus G.P. Rouffaer dan Dr. H.H.Juynboll dalam bukunya memberikan pujian dan mengomentari bagaimana kemampuan serta bakat menulis puteri Jawa ini dan menyayangkan kepergiannnya yang begitu cepat.
Buku itu kemudian diterbitkan dua kali, cetakan pertama pada tahun 1900 diterbitkan oleh H.Kleinman & CO, sedangkan cetakan kedua pada tahun 1914 diterbitkan oleg A. Oosthoek, Utrecht.
Sebelum kepergiannya, Kartini sempat menulis beberapa tulisan yang dipublikasikan, diantaranya adalah Een Gouverneur Generaaldag yang dimuat dalam Koran de echo (1903), Van Een Vergeten Uithoekje yang terbit di Eigen Haard (1903), tulisan ini menyinggung soal jepara, keresidenan yang terlupakan tapi kaya akan karya seni yang tinggi hasil dari penduduknya.
Saat Kartini hidup, akses perempuan pada pengetahuan masih terbatas. Kini, peluang terbuka jauh lebih lebar. Apapun profesinya, perempuan perlu membaca menggali pengetahuan dan menuangkannya dalam tulisan.
Kartini, Keturunan Bangsawan yang Tak Sudi Disebut Bangsawan
Raden Ajeng Kartini tidak pernah punya keinginan untuk tumbuh di tengah keluarga bangsawan yang dipandang tinggi masyarakat umum.
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara di masanya. Ibu tirinya, Raden Ayu Muryam, merupakan keturunan keluarga raja di Madura.
Kepada sahabat penanya, Estella Helena Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan kekesalannya dipandang tinggi sebagai keluarga bangsawan.
"Apakah saya seorang anak raja? Bukan. Seperti kamu juga bukan," tulis Kartini dalam suratnya kepada Stella, sebagaimana tertulis dalam buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).
"Raja terakhir dalam keluarga kami, yang langsung menurunkan kami menurut garis keturunan laki-laki, saya kira sudah berlalu 25 keturunan jauhnya," lanjutnya.
Kartini tidak peduli dengan gelar apa pun yang dimiliki moyangnya terdahulu. Menurut dia, hanya ada dua macam bangsawan, yakni bangsawan jiwa dan bangsawan budi.
Dalam suratnya, Kartini pun menyindir orang-orang yang begitu bangga memamerkan gelar kebangsawanannya.
"Di manakah gerangan letak jasa orang bergelar graaf atau baron (gelar untuk bangsawan)? Pikiran saya yang picik tidak sampai untuk memikirkan hal itu," kata Kartini.
Kepada Stella, Kartini bercerita betapa marah dia dan saudarinya saat dipanggil "putri-putri Jawa" oleh sejumlah perempuan asal Den Haag. Saat itu, Kartini dan keluarganya tengah menghadiri Pameran Karya Wanita.
Orang Eropa, lanjut dia, lebih sering memanggil mereka "freule" (putri) alih-alih "Raden Ajeng". Betapa kesalnya Kartini karena setelah dijelaskan beberapa kali pun, orang-orang tetap memanggil mereka "freule".
Suatu waktu, tulis Kartini, seorang berkebangsaan Belanda datang untuk berkenalan dengan dirinya dan dua saudarinya. Melihat penampilan tiga anak Bupati Jepara itu, orang Belanda tersebut berbisik ke ayah Kartini.
"Bupati, saya membayangkan pakaian putri-putri begitu gemerlapan, keindahan ketimuran yang luar biasa. Tapi anak-anak Tuan sederhana sekali," ujar orang Belanda tersebut, sebagaimana dituliskan Kartini dalam suratnya tertanggal 18 Agustus 1899 itu.
Kartini menyenangi perbincangannya dengan Stella karena gelar bangsawan jarang terselip di setiap balasan suratnya. Kartini senang mengetahui bahwa Stella menganggapnya sebagai perempuan biasa, yang sama-sama lantang dan keras menyerukan kebebasan.
"Harapan saya selalu, agar kamu senantiasa memanggil nama saya dan tetap berengkau-kamu kepada saya. Lihat sajalah, betapa baiknya saya mengikuti contohmu," kata Kartini, yang ketika itu berusia 20 tahun.
Belum ada Komentar untuk "Kartini Bukan Cuma Penulis Surat, Dia Wartawati Pertama Nusantara"
Posting Komentar