5 Jendral Penumpas PKI Yang Dikhianati Pak Soeharto
Makin lama, kepemimpinan Presiden Soeharto semakin dirasa menyimpang dari cita-cita pendirian Orde Baru. Isu korupsi keluarga Cendana dan keluarganya mencuat. Soeharto pun mulai mencopoti pejabat yang dinilai berseberangan dengan dirinya.
Banyak yang kecewa dengan kepemimpinan Soeharto yang makin seperti diktator. Tapi sedikit yang berani bersuara. Hukuman berat dari Soeharto menanti mereka yang bersuara kritis.
16 April 1980, Soeharto berpidato di depan korps elite baret merah Kopasandha Angkatan Darat. Dia mengeluhkan sejumlah serangan politik terhadap dirinya. Soal Ibu Tien yang dituding korupsi dan soal ancaman terhadap Pancasila.
Sejumlah tokoh militer senior dan sipil kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Soeharto yang menyeret ABRI sebagai alat kekuasaan. Mereka pun mempertanyakan kenapa setiap serangan politik pada Soeharto dianggap ancaman terhadap Pancasila.
Berikut kisah lima Jenderal yang pernah berjasa pada Indonesia namun dicampakkan pada akhirnya.
1. Jenderal Besar A. H. Nasution
Tanpa Nasution, Soeharto takkan bisa jadi presiden. Nasutionlah yang melobi Soekarno agar Soeharto diangkat jadi Panglima AD. Nasution memimpin operasi penumpasan PKI. MPRS pimpinan Nasution yang mencabut keputusan presiden seumur hidup. Nasution pula yang mengusulkan mosi tidak percaya terhadap Soekarno untuk melucuti kekuasaannya. Terakhir, Nasution adalah orang yang melantik Soeharto menjadi presiden pada 27 Maret 1968.
Tapi apa yang Nasution dapatkan? Sekedar ucapan 'maturnuwun' pun saya rasa tidak. Tahun 1969 Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akmil. Tahun 1971 Nasution dipensiunkan sebelum waktunya saat umur 53 padahal usia pensiun 55. Tahun 1972 Nasution dipecat sebagai Ketua MPRS lalu diganti Idham Chalid. Tahun 1980, Nasution bersama 49 orang lainnya yang juga tidak puas terhadap rezim Orba membuat Petisi 50. Bagi penandatangan petisi seperti Nasution, Soeharto memberlakukan larangan perjalanan dan membuat transaksi bisnis yang sulit sehingga penandatangan petisi akan memiliki masa sulit dalam mencari nafkah.
Pada 1997, Soeharto memberikan pangkat Jenderal Besar kepada Nasution. Entah sebagai bentuk rekonsiliasi atau sekedar pencitraan.
2. Mayor Jenderal Kemal Idris
Kemal Idris tidak hanya sekedar anti PKI, beliau juga anti Soekarno. Pada tahun 1952, Kemal Idris bersama Nasution ikut mengarahkan moncong meriam ke arah istana untuk mengancam Soekarno. Maka dari itu, tidak salah jika Soeharto mengandalkannya dalam operasi pembasmian PKI sekaligus upaya untuk menyingkirkan Sukarno dari tampuk kekuasaan. Atas sikap politiknya itu, Kemal Idris memperoleh “hadiah” dari Soeharto yang nantinya mengambil-alih kursi kepresidenan dari Sukarno, untuk mengemban jabatan istimewa sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) sejak 1967.
Mirip Nasution, tak lama kemudian jabatan Pangkostradnya dicopot lalu diganti menjadi Panglima Kowilhan di Makassar yang tak jelas tugasnya apa. Makassar belum cukup jauh, Kemal Idris lalu diberi tugas sebagai Dubes Yugoslavia dan Yunani. Bagi seorang militer, apalagi Jenderal yang sudah kenyang perang, diberi tugas diplomasi adalah sebuah penghinaan. Namun sebagai militer, Kemal Idris paham bahwa perintah atasan adalah absolut. Sepulang dari Eropa, bersama Nasution beliau ikut membuat Petisi 50.
3. Mayor Jenderal H. R. Dharsono
Dua kali PKI memberontak, dua kali pula Pak Ton - sapaan akrab sang Jenderal - menghabisinya. Salim Haji Said dalam bukunya menulis, Pak Ton, Kemal Idris, dan Sarwo Edhie Wibowo adalah tiga King Maker yang ikut membantu Soeharto meraih singgasana. Sempat diberi hadiah dengan diangkat menjadi Pangdam Siliwangi, Pak Ton lalu 'dibuang' menjadi Duta Besar di Thailand karena dianggap dapat membahayakan kekuasaan Soeharto. Tahun 1976, Pak Ton diangkat sebagai Sekjen ASEAN. Baru dua tahun menikmati jabatan Sekjen, Pak Ton dicopot jabatannya karena ikut menyetujui Petisi 50. Tahun 1984, Pak Ton dijebloskan ke penjara selama 10 tahun karena dituduh terlibat dalam Peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman beberapa kantor BCA.
HR Dharsono mendekam beberapa tahun di penjara bersama AM Fatwa dan banyak tokoh lain. Tak hanya dipenjara secara fisik, Dharsono juga dicabut semua tanda jasanya sebagai anggota militer yang pernah terjun langsung dalam sejumlah operasi militer dan palagan yang menyabung nyawanya. Bahkan, ketika HR Dharsono meninggal dunia, KSAD yang sedang menjabat, Jenderal R Hartono, sempat dimintai tolong untuk mempertanyakan kepada Soeharto: Apakah Dharsono dimungkinkan dimakamkan di taman makam pahlawan?
Apa jawabannya? Jawaban Soeharto, "Sudah, begitu saja." tulis Salim Said dalam bukunya. Artinya, HR Dharsono tak boleh dimakamkan di taman makam pahlawan. Karena itu, ketika Letjen Purn Kemal Idris hadir di pemakaman umum di Bandung untuk melepas kepergian teman seperjuangannya, Kemal Idris sempat menggerutu: Seperti menguburkan kucing saja.
4. Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo
Kebencian Sarwo pada PKI bukan tanpa alasan. Ahmad Yani yang menjadi korban G30S adalah sahabat sekaligus senior yang sangat dihormatinya. Sarwo dan Yani sudah bersahabat sejak masih menjadi anggota PETA. Yani merupakan orang yang menunjuk Sarwo sebagai komandan pasukan elit RPKAD meskipun ditentang banyak orang termasuk Benny Moerdani. Maka saat Soeharto memberinya tugas untuk memberantas anggota PKI, tanpa banyak tanya Sarwo langsung bersedia. Di bawah pimpinannya, TNI bersama rakyat Indonesia berhasil membunuh sebanyak 3 juta orang yang diduga anggota PKI.
Setelah operasi selesai, Sarwo perlahan - lahan dijauhkan oleh Soeharto agar tidak mengganggu. Pertama - tama Sarwo ditugaskan menjadi Pangdam Bukit Barisan, lalu berturut -turut Pangdam Papua, Gubernur Akmil, duta besar di Korea Selatan, inspektur jenderal Departemen Luar Negeri, kepala BP7, dan terakhir mengundurkan diri dari DPR sampai akhir hayatnya pada 9 November 1989. Sarwo sebenarnya sempat akan didubeskan di Rusia. Saat itu Sarwo menjadi depresi berat. Berikut hasil wawancara dengan Ani Herawati, putri Sarwo.
Kristiani Herawati, yang kemudian menikah dengan Susilo Bambang Yudhoyono, masih ingat dengan jelas, pada suatu sore ayahnya mengumpulkan keluarga di ruang tengah. “Papi akan ditempatkan di Rusia. Moskow. Negara dengan faham komunis,” kata Sarwo Edhie, lirih. Dia merasa sangat nelangsa dengan tugas baru ini. “Bagaimanapun, dia selama ini dikenal sebagai penumpas komunis. Lalu kemudian dia diceburkan ke negara berfaham komunis. Bagi Papi ini seperti meledek dirinya,” kata Ani Yudhoyono dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit karya Alberthiene Endah.
Ani kemudian memergoki ayahnya menjadi banyak melamun di depan rumah. Pandangannya kosong dan menerawang. Rumah berubah menjadi senyap. Suatu kali, Ani mendengar ayahnya berkata kepada ibunya, “kalau aku memang mau dibunuh, bunuh saja. Tapi jangan bunuh aku dengan cara seperti ini. Apa salahku sampai aku harus dihentikan begini rupa?”
“Papi amat terpukul dengan keputusan pemerintah menempatkan dirinya di Rusia, selagi karier militernya sedang begitu cemerlang,” kata Ani.
5. Letnan Jenderal M. Jasin
Letjen M. Jasin adalah mantan Pangdam Brawijaya yang berinisiatif melakukan Operasi Trisula. Operasi tersebut bertujuan untuk membersihkan sisa - sisa anggota PKI yang bersembunyi di Blitar Selatan saat tahun 1968. Kisah permusuhan Jasin dan Harto bermula pada tahun 1971. Saat itu hubungan Jasin - Harto masih akur, bahkan mereka sering main golf bareng. Saat bermain golf, Jasin mengutarakan keinginannya membeli truk untuk keperlua TNI. Harto setuju, Jasin senang.
Happy ending? Not at all. Ternyata truk yang akan dibeli Soeharto berbobot 5 ton. Padahal Jasin ingin bobotnya 3 ton saja agar jalan di daerah tidak cepat rusak. Jasin menduga ini hanya akal - akalan Harto agar mendapat untung. Sejak saat itu hubungan Jasin - Harto menjadi buruk dan kian buruk karena Jasin semakin vokal dalam mengkritik kebijakan Harto yang dianggap tidak masuk akal. Jasin juga ikut dalam Petisi 50. Jabatan Wakasad Jasin dicopot sebagai hukuman. Berbeda dengan Nasution yang mau memaafkan, hingga meninggal pada tahun 2013, Jasin tak pernah sudi berbaikan dengan Harto. Bahkan beliau mengaku menyesal pernah mendukung Soeharto.
Politik itu kejam, Jenderal!
Source : stealth.mode
Jgn membelokkan sejarah
BalasHapus